JAKARTA, KAMIS 27 Januari 2011) – Rakyat Papua telah beberapa kali menyatakan sikap bahwa, Undang-Undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Provinsi Papua telah gagal. Karena itu, pemerintah pusat diminta segera mencabut status UU Otsus dari tanah Papua.
Jika rakyat Papua telah menyatakan sikap terkait kegagalan UU Otsus serta menolaknya, berarti pemilihan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), yang juga sebagai “roh” dari pada amanat UU Otsus itu sendiri harus segera dihentikan.
Setelah hampir sepuluh tahun UU Otsus hadir di Papua, yang terlihat justru pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat negara sendiri semakin meningkat. TNI/Polri tetap menggunakan jalan kekerasaan dalam menyelesaikan masalah Papua. Operasi militer juga masih terus dilakukan. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai amanat UU Otsus pasal 45 ayat 2 hingga saat ini belum juga di bentuk.
Sembari dana Otsus terus digulirkan, bahkan tiap tahun meningkat, tidak ada petunjuk yang jelas dalam penggunaan dana tersebut. Akibatnya, korupsi dimana-mana. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak berani menyentuh para koruptor di Papua. Kami menilai, ini sebuah sistem pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk memecah belah orang Papua sendiri.
Selain itu, pemekaran wilayah di Papua juga terus di lakukan, tanpa memperhatikan kesiapan masyarakat setempat. Dana Otsus yang seharusnya dialokasikan bagi pemberdayaan masyarakat, habis dipakai untuk membangun infrastruktur pemerintah di daerah pemekaran, termasuk Kodim baru, Batalyon baru, serta markas-markas militer yang lebih banyak lagi.
Dan yang lebih parah lagi, adalah bagaimana pemerintah Indonesia melarang para wartawan asing, diplomat serta NGO asing, untuk memasuki wilayah Papua. Ada semacam “surat jalan” yang harus di dapatkan sebelum pergi ke Papua. Secara tidak langsung, pemerintah Indonesia telah mengatakan bahwa Papua daerah yang tidak aman di kunjungi, atau berbahaya jika di kunjungi. Padalah, kita tahu sendiri sudah hamper sepuluh tahun UU Otsus hadir di Papua.
Sudah beberapa kali rakyat Papua menyatakan kekecewaan kepada pemerintah Indonesia terkait implementasi Otsus yang kacau balau. Bagaimana awalnya janji manis terkait kehadiran UU Otsus yang katanya akan membawah perubahaan yang signifikan bagi kehidupan rakyat Papua, namun justru tidak memberikan manfaat apa-apa, bahkan menjadi malapetaka.
Pertama kalinya, pada tanggal 12 Agustus 2005, belasan ribu rakyat Papua bersama Dewan Adat Papua (DAP) melakukan long march dari kantor MRP di Kotaraja, menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura. Mereka berjalan sejauh 20 KM, sambil mengusung sebuah peti mati. Ia melambangkan kematian UU Otsus Papua, dan peti itu sempat diserahkan kepada anggota dewan untuk diteruskan sampai kepada pemerintah pusat di Jakarta.
Berikutnya, pada tanggal 18 Mei, tahun2010 kemarin, ribuan rakyat Papua bersama Forum Demokrasi Rakyat Papua (Fordem) mendatangi kantor MRP. Menyatakan kekecewaan terkait implementasi UU Otsus yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Serta meminta pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap segala konflik, termasuk kegagalan UU Otsus yang hadir karena terlalu dipaksakan.
Kemudian, puncaknya pada tanggal 28 Juli 2010, hampir 12.000 masa rakyat Papua bersama Fordem Papua mendatangi kantor DPRP, kemudian di lanjutkan ke kantor Gubenur Papua. Meminta pertanggung jawaban dewan dan Gubernur terkait implementasi Otsus yang kacau balau. Dalam aksi kali ini, masa sempat tidur di kantor DPRP setelah gagal bertemu dengan Gubernur Papua.
Melihat tidak ada respon dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat, masyarakat Papua yang terdiri dari tokoh agama, tokoh politik, tokoh adat, tokoh pemuda, beserta MRP melakukan musyawarah besar beberapa minggu berikutnya, di kantor MRP, Kotaraja. Disini rakyat Papua menghasilkan 11 rekomendasi, yang harus segera di penuhi oleh pemerintah pusat.
Sebelas rekomendasi itu adalah pertama, UU Otonomi Khusus (Otsus) No 21/2001 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. Kedua, rakyat Papua menuntut dialog dengan pemerintah pusat yang dimediasi pihak internasional yang netral. Ketiga, rakyat Papua menuntut referendum menuju pembebasan politik.
Keempat, rakyat Papua menuntut pemerintah RI mengakui dan mengembalikan kedaulatan bangsa Papua Barat yang telah diproklamasikan pada 1 Desember 1961. Kelima, rakyat Papua mendesak agar dunia internasional mengembargo bantuan dalam pelaksanaan otsus di Papua. Keenam, dipandang tidak perlu untuk merevisi UU No 21/2001 jo UU No 35/2009 karena otsus terbukti telah gagal.
Ketujuh, seluruh proses pemilu kada di tingkat kabupaten/kota se-Papua dan Papua Barat segera dihentikan. Kedelapan, Pemprov Papua dan Papua Barat seger menghentian program transmigrasi dari luar serta melakukan pengawasan ketat terhadap arus migrasi penduduk dari luar tanah Papua. Kesepuluh, rakyat Papua mendesak segera dilepaskannya para tahanan politik dan narapidana politik asal Papua. Kesebelas, MRP dan masyarakat asli Papua mendorong PT Freeport Indonesia segera ditutup.
Kenyataanya, hingga saat ini 11 rekomendasi itu diabaikan oleh pemerintah pusat, sembari tetap melakukan pemilihan anggota MRP jilid II. Ini sebuah penghinaan bagi rakyat Papua. Menyikap hal ini, kemarin, Kamis (26/01) masa rakyat Papua bersama tokoh-tokoh agama di tanah Papua telah mendatangi DPRP. Mereka membawah “peti mati” lagi, ini kali kedua menyatakan kegagalan Otsus dengan tindakan yang sama.
Melihat perkembangan seperti ini, kami dari Koalisi Mahasiswa Papua menyatakan sikap kami, yakni menolak keberadaan UU Otsus di Papua, karena implementasinya telah gagal total. Kami juga meminta pemerintah segera menghentikan pemilihan MRP jilid II yang sedang berlangsung. Dan menuntut di jawabnya sebelas rekomendasi MRP yang telah di serahkan kepada DPRP untuk di teruskan kepada pemerintah pusat.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus membuka ruang dialog dengan rakyat Papua, yang di mediasi oleh Negara asing atau dunia internasional. Masalah Papua bukan masalah dalam negeri, tetapi masalah internasional yang perlu dicari bentuk penyelesaiannya secara adil, berma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar