JAYAPURA- Tuntutan seribuan massa gereja yang melakukan demonstrasi di DPRP Rabu (26/1) yang tidak lagi mengaku eksistensi keberadaan MRP karena MRP sudah dinilai mati, ternyata sikapi diam alias bungkam oleh MRP.MRP tak mau berkomentar tentang aksi aksi masyarakat Papua yang menyatakan MRP ditutup atau MRP telah mati. “Posisi MRP serba dilematis, disatu sisi lembaga Kultural ini mau menanggapi demo yang berturur turut dilakukan di Kantornya, namun disatu sisi , Suara Kenabian Gereja harus di Patuhi,” demikian pernyataan spontan Wakil Ketua I MRP Frans Wospakrik kepada Ketua Pokja Perempuan MRP Mien Roembiak yang ditemui di Kantor MRP, Kamis ( 27/1). Menurut Mien Roembiak MRP, sesui mandat Ketua MRP, tidak akan memberikan komentar tentang aksi- aksi yang dilakukan masyarakat tentang MRP dan memilih diam, kata Mien. Dikantor MRP sendiri saat ini yang masih tetap ke Kantor, Ketua Agus Alua, Wakil Frans Wospakrik dan dirinya sebagai Ketua Pokja Perempuan . Kabar yang dihimpun dan dikabarkan kepada Bintang Papua selama dua kali Demo di Kantor MRP dalam pekan ini , seperti yang dikatakan salah satu anggota MRP Simunapendi bahwa hampir sebagian besar anggota MRP tak berada di Kantor, mereka semua melakukan perjalanan ke Daerah menjaring aspirasi untuk maju dalam pemilihan anggota MRP yang baru. Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Pokja Perempuan , bahwa sebagian besar Anggota MRP sedang berada di Daerah untuk menjaring aspirasi. Kepada Bintang Papua dirinya menuturkan, meski sampai hari ini banyak permintaan dari Lembaga Masyarakat Adat Biak – Supiori yang memintanya untuk kembali membawa aspirasi Masyarakat Adat disana, namun ia tidak berminat lagi mencalonkan diri kedua kali. Bahkan Ibu Wanggober yang dikenal sebagai satu praktisi Politik secara resmi menyampaikan aspirasi masayarakat di Supiori yang meminta Ketua Pokja MRP ini kembali membawa aspirasi masyarakat Supiori.
Ia mengakui, untuk menjalankan tugas sebagai anggota MRP memang berat, ia kembali mengingat bagaimana selama bertugas lima tahun, harus berjalan kaki ke pedalaman hingga pelosok pelosok kampung di Supiori, rakyat disana begitu menderita, ungkapnya. Melihat kondisi masyarakat yang demikian, Mien rencana memilih tokoh perempuan yang dianggap pantas buat Supiori yang akan duduk dalam MRP, sebab menurutnya ia tidak akan kembali lagi ke MRP, ada tugas lain yang mesti ia kerjakan yakni sebagai Pengajar di Uncen dan akan kembali ke Dunia Akademisi. Menurutnya, dengan kembali ke Dunia Kampus ada cara- cara yang bisa dipakai untuk mengabdi kepada masyarakat, sebab Dunia Politik bukan dunianya, kata Antropolog Uncen ini lembut.
Kasus MRP Kasus Kesekian Kali Tak Konsistennya Pemerintah
Sementara itu, Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi Untuk Papua yang dihubungi Kamis ( 27/1) tidak mengelak tentang adanya Klarifikasi Mendagri sesuai SK – nya yang diaggap semua elemen masyarakat di Papua sebagai pelecehan.
SK Mendagari yang tembusannya disampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden, Menko Bidang Polhukam dan Gubernur Papua Barat, Ketua DPR Papua Barat dan Ketua DPRP serta Ketua MRP sebenarnya telah ditanggapi Pemerintah Papua dan DPRP. Pertemuan untuk membahas masalah MRP bukan hanya sekali , namun berkali kali telah dibahas di tingkat Pemerintahan, DPRP dan MRP.
Dikatakan, proses Perdasus MRP sendiri memang ada beberapa hal yang berbeda antara Pemerintah, DPRP dan Pemerintah Pusat masalah MRP ini seolah olah tak pernah ada Komunikasi yang dibangun antar lembaga ini, padahal Komunikasi telah dibangun dan hasil dari komunikasi itu ada, dan beberapa Poin yang diklarifikasi Mendagri terkait Pemilihan anggota MRP seakan akan menunjukkan belum pernah terjadi Komunikasi timbal balik antara Pemerintah Papua, DPRP dan MRP sebab keputusan Politik bersama yang dikeluarkan Pemerintah ketika masuk pada tahap akhir di Jakarta, hasilnya selalu beda hal ini nyata dalam Perdasus MRP yang diklarifikasi Mendagri, ungkap Anum.
Dengan kenyataan seperti ini nampak menunjukkan Pemerintah Jakarta tidak percaya kepada Pemerintah Papua dan sebaliknya Pemerintah Papua juga tidak percaya lagi pada Pemerintah Jakarta. Diterangkan lebih lanjut, bahwa kasus MRP ini merupakan kasus dari kesekian ribu kasus di Papua yang penyelesaiannya saling Intervensi dan berujung sistim Pemerintahan di Papua jadi kacau, rakyat tidak percaya Pemerintah Jakarta sementara rakyat jadi korban dengan melakukan berbagai aksi aksi penentang Pemerintah.
Selain terhambatnya Komunikasi timbal balik yang terputus tadi, kata Anum, masing masing punya persepsi sendiri, Pemerintah dengan Persepsinya dan rakyat dengan persepsinya dan berbeda, sehingga tidak ada kepastian. Seharusnya dengan hadirnya SK Mendagri, Pemerintah, DPRP dan MRP perlu melakukan suatu pertemuan yang bisa menghantar Keputusan yang jadi tanggung jawab bersama untuk dilaksanakan tanpa ingkar janji.
Menurutnya, sudah berulang kali Pemerintah bolak balik Jakarta untuk membicarakan kasus MRP, yang terjadi sebaliknya dan hal ini terjadi pada undang undang Otsus yang menyebabkan rakyat binggung dengan sikap Pemerintah yang tak jelas dalam melaksanakan setiap Keputusan yang berhubungan dengan Papua secara konsekuen, ungkapnya. ( Ven/don )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar